"LELAKI SHALIH BELUM TENTU MENJADI SUAMI SHALIH"
Seorang
wanita pastinya mengharapkan seorang lelaki shalih untuk menjadi
suaminya. Hal ini tentu baik. Namun, ketika dia sudah mendapatkan
seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan lelaki lain untuk
menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu – menurut
pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan
seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya,
setelah sebelumnya dia sudah berikhtiar.
Saya ingin menuliskan inti jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut di sini, untuk berbagi dengan yang lain. Semoga bermanfaat :
Nabi
Muhammad, dalam hidupnya, juga sering menjadi tukang jodoh. Banyak
riwayat yang menjelaskan hal itu, misalnya kisah perjodohan Julaibib dan
lainnya. Nah, setelah mengamati apa yang dilakukan Nabi, berikut
keterangan-keterangan dalam agama, kita sampai pada satu kesimpulan,
ternyata dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi
suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi
suami yang baik!
Suami shalih, maknanya lebih luas dari
pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan
perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah
di masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal
yang haram. Namun, dalam memberikan penilaian tentang siapa lelaki
shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya dari sisi lahiriahnya.
Secara
lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa
saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah, sering menghina dan
merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya. Hal ini tentu dapat
menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Saya
tandaskan, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia
memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagimu. Sebaliknya, justru ia
cocok untuk orang lain, bukan untukmu.
Misalnya, lelaki
itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa,
memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang Anda memiliki karakter
sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul
dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.
Saya tidak
mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi Anda yang
memiliki sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuat Anda kurang
nyaman dalam mengarungi rumah tangga.
Karena itulah, Nabi
mengatakan (yang artinya): “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai
agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka
akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR
Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi tidak
mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”.
Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama
dan perangainya”.
Apa bedanya?
Pernyataan
pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus
menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu
pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan
Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih
calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya,
karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan
perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian
manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang
tampak.
Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal
ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang
melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu
al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi?
Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk
menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari
Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan
memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan
Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui
karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih
lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid,
seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah.
Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya
setelah itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang
banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik
darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda
dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua,
memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau
relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Keshalihan
seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah.
Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian
gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan,
meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab
kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu,
kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya
pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau
teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan
sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan adanya musyawarah dan
istikharah. Lakukanlah keduanya! Sementara bagi yang sudah menikah,
terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu “satu
paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal
bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak
menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar.
Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi
pupuk yang bermanfaat”.
Sesuatu yang baik dari suami,
ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya,
bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan
lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda
baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami
Anda.
Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang
hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang
menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum
tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk
perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila
menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda!
Oleh : Ustadz Faris Khairul Anam